Apa yang muncul dibenak kalian saat melihat judul topik tersebut. Mungkin mayoritas dari kita akan menjawab dengan isu yang sedang naik sejak 3 bulan terakhir. Nilai tukar yang berada di benak kebanyakan orang ini timbul karena sebuah akibat yang muncul secara signifikan di beberapa kalangan. Sebelum jauh ke topik itu sebenarnya ada beberapa fakta yang mau saya sampaikan khususnya kepada para pembaca yang hebat disini.
Sadar atau tidak sebenarnya segala sesuatu yang akan kita capai dan merupakan sebuah impian adalah tentang Perdagangan. Kenapa bisa demikian. Karena tak bisa dipungkiri bahwa setiap hal yang akan kita lakukan nantinya bahkan yang sedang kita lakukan adalah tak jauh dari yang namanya Transaksi. Entah kalian mengaku profesi kalian adalah siswa, guru, dokter, dosen, mahasiswa sekalipun, tetap, secara garis besar ada Perdagangan di dalamnya. Siswa mentransaksikan waktu, tenaga, dan berbagai hal untuk bisa membeli ilmu. Dalam formalitas mungkin kita biasa menyebutnya Ijazah. Guru mentransaksikan ilmu, waktu, dan tenaga untuk dapat membeli sebuah tabungan kebaikan di masa depan, dengan gaji sebagai formalitasnya. Begitupun berlaku untuk dokter yang mentransaksikan keahliannya, dosen yang mentransaksikan pengalaman dan ilmunya, serta mahasiswa yang mentransaksikan intelektualnya. Semua ini sama halnya dengan Perdagangan.
Lanjut ke beberapa aspek yang menyinggung dengan topik. Sadarkah kita, sebenarnya sebuah nilai tukar sudah berlaku sejak jaman purbakala. Menurut catatan sejarah, manusia-manusia generasi awal melakukan transaksi dengan sistem Barter sebelum adanya Uang. Mereka melakukan hal tersebut karena sadar bahwa mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidup mereka. Tanpa adanya hasrat saling membutuhkan diantara mereka, tak mungkin timbulnya sebuah alat transaksi yang bernama Uang. Dengan meningkatnya kecerdasan otak manusia bahkan memang sudah pada dasarnya cerdas, maka beberapa orang mencetuskan untuk bertukar kebutuhkan dengan suatu benda yang bernama Uang.
Di sini saya tidak akan mengulas isu tersebut secara mendalam karena tujuan dari tulisan ini adalah bagaimana Kita yang memiliki Nilai Tukar itu. Bukan lagi Uang. Bukan lagi Benda. Manusia itu layaknya Rupiah yang ditukarkan kepada Dollar. Rupiah itu masing-masing individu. Dollar itu sudut pandang orang lain terhadap dirinya.
Lebih jelasnya seperti ini. Kalau Rupiah melemah karena kesalahan-kesalahan yang disengaja seperti terlalu banyak barang impor, penggunaan barang dalam negeri yang minim, dan juga beberapa hal lainnya. Maka itu sama seperti manusia yang Sangat Tidak Percaya Diri. Nilai tukar manusia tersebut di mata orang lain akan menurun dan hanya sedikit bisa berdampak dan menguat dari sudut pandang orang lain. Tapi, kalau hal berkebalikan dari sebab-sebab yang melemahkan rupiah malah lebih besar seperti terlalu banyak mengekspor, tertutup dari negara lain mengenai jual-beli. Itu sama halnya seperti Percaya Diri yang Berlebihan. Makanya jalan tengah dari dua kasus tersebut adalah Keseimbangan.
Manusia terlalu cerdas untuk berfikir bodoh. Maksudnya. Karunia otak dengan segala pengetahuannya sudah tidak dapat diragukan lagi untuk bisa memberikan Nilai Tukar kepada tiap-tiap orang. Bahkan Saking sibuknya memberikan Nilai Tukar kepada orang lain, mereka sampai lupa untuk memikirkan bagaimana sebenarnya Nilai Tukar mereka sendiri.
Mereka terlalu sibuk untuk menilai orang-orang di sekelilingnya ketimbang diri mereka sendiri sebenarnya sudah sejauh mana bisa menguatkan Nilai Tukar mereka terhadap orang lain. Itulah keistimewaan otak manusia dalam berfikir. Sama halnya seperti membangun sebuah Rumah. Ketika kita mulai memberikan kritik kepada seseorang, maka kita telah memberikan solusi kepada orang itu untuk memperbaiki dirinya. Maka dalam hal ini kita Memperbaiki Rumah Orang Lain. Hal tersebut adalah hal yang bagus, karena saling mengingatkan untuk hal yang lebih baik adalah sebuah keniscayaan manusia untuk saling memberi. Tapi, sering kita lupa untuk memperbaiki Rumah Kita Sendiri.
Solusinya adalah sering-sering melakukan Introspeksi. Bukan berarti acuh dengan berbagai sisi. Hanya saja kita memang memerlukan waktu Sendiri untuk bisa lebih baik lagi. Ketika mendapatkan sebuah Kritik. Sakit hati bukanlah Solusi. Itu hanya nafsu belaka yang menutupi jernihnya pikiran dan hati, untuk bisa memperbaiki diri.
"Jika manusia ditakdirkan hanya untuk mengurus dirinya sendiri, kenapa bisa disediakan alam semesta yang harus ada memberikan kebutuhan untuk dirinya?"
Satu nasihat yang bagi saya ini penting untuk direnungi, dicermati, dan dijalani.
"Jangan jadikan Nilai Tukar diri terlihat rendah di mata manusia, karena kita diciptakan untuk saling melengkapi. Namun jangan pula jadikan Nilai Tukar diri untuk sebuah eksistensi, karena sebuah kata Sombong pun tak layak untuk kita miliki. Kita terlalu penting untuk Melengkapi orang lain, tapi kita terlalu Lemah untuk bisa melebihi yang lain. Hanya Tanah yang diberikan Nyawa, apa yang mau Disombongkan?"
Sadar atau tidak sebenarnya segala sesuatu yang akan kita capai dan merupakan sebuah impian adalah tentang Perdagangan. Kenapa bisa demikian. Karena tak bisa dipungkiri bahwa setiap hal yang akan kita lakukan nantinya bahkan yang sedang kita lakukan adalah tak jauh dari yang namanya Transaksi. Entah kalian mengaku profesi kalian adalah siswa, guru, dokter, dosen, mahasiswa sekalipun, tetap, secara garis besar ada Perdagangan di dalamnya. Siswa mentransaksikan waktu, tenaga, dan berbagai hal untuk bisa membeli ilmu. Dalam formalitas mungkin kita biasa menyebutnya Ijazah. Guru mentransaksikan ilmu, waktu, dan tenaga untuk dapat membeli sebuah tabungan kebaikan di masa depan, dengan gaji sebagai formalitasnya. Begitupun berlaku untuk dokter yang mentransaksikan keahliannya, dosen yang mentransaksikan pengalaman dan ilmunya, serta mahasiswa yang mentransaksikan intelektualnya. Semua ini sama halnya dengan Perdagangan.
Lanjut ke beberapa aspek yang menyinggung dengan topik. Sadarkah kita, sebenarnya sebuah nilai tukar sudah berlaku sejak jaman purbakala. Menurut catatan sejarah, manusia-manusia generasi awal melakukan transaksi dengan sistem Barter sebelum adanya Uang. Mereka melakukan hal tersebut karena sadar bahwa mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidup mereka. Tanpa adanya hasrat saling membutuhkan diantara mereka, tak mungkin timbulnya sebuah alat transaksi yang bernama Uang. Dengan meningkatnya kecerdasan otak manusia bahkan memang sudah pada dasarnya cerdas, maka beberapa orang mencetuskan untuk bertukar kebutuhkan dengan suatu benda yang bernama Uang.
Di sini saya tidak akan mengulas isu tersebut secara mendalam karena tujuan dari tulisan ini adalah bagaimana Kita yang memiliki Nilai Tukar itu. Bukan lagi Uang. Bukan lagi Benda. Manusia itu layaknya Rupiah yang ditukarkan kepada Dollar. Rupiah itu masing-masing individu. Dollar itu sudut pandang orang lain terhadap dirinya.
Lebih jelasnya seperti ini. Kalau Rupiah melemah karena kesalahan-kesalahan yang disengaja seperti terlalu banyak barang impor, penggunaan barang dalam negeri yang minim, dan juga beberapa hal lainnya. Maka itu sama seperti manusia yang Sangat Tidak Percaya Diri. Nilai tukar manusia tersebut di mata orang lain akan menurun dan hanya sedikit bisa berdampak dan menguat dari sudut pandang orang lain. Tapi, kalau hal berkebalikan dari sebab-sebab yang melemahkan rupiah malah lebih besar seperti terlalu banyak mengekspor, tertutup dari negara lain mengenai jual-beli. Itu sama halnya seperti Percaya Diri yang Berlebihan. Makanya jalan tengah dari dua kasus tersebut adalah Keseimbangan.
Manusia terlalu cerdas untuk berfikir bodoh. Maksudnya. Karunia otak dengan segala pengetahuannya sudah tidak dapat diragukan lagi untuk bisa memberikan Nilai Tukar kepada tiap-tiap orang. Bahkan Saking sibuknya memberikan Nilai Tukar kepada orang lain, mereka sampai lupa untuk memikirkan bagaimana sebenarnya Nilai Tukar mereka sendiri.
Mereka terlalu sibuk untuk menilai orang-orang di sekelilingnya ketimbang diri mereka sendiri sebenarnya sudah sejauh mana bisa menguatkan Nilai Tukar mereka terhadap orang lain. Itulah keistimewaan otak manusia dalam berfikir. Sama halnya seperti membangun sebuah Rumah. Ketika kita mulai memberikan kritik kepada seseorang, maka kita telah memberikan solusi kepada orang itu untuk memperbaiki dirinya. Maka dalam hal ini kita Memperbaiki Rumah Orang Lain. Hal tersebut adalah hal yang bagus, karena saling mengingatkan untuk hal yang lebih baik adalah sebuah keniscayaan manusia untuk saling memberi. Tapi, sering kita lupa untuk memperbaiki Rumah Kita Sendiri.
Solusinya adalah sering-sering melakukan Introspeksi. Bukan berarti acuh dengan berbagai sisi. Hanya saja kita memang memerlukan waktu Sendiri untuk bisa lebih baik lagi. Ketika mendapatkan sebuah Kritik. Sakit hati bukanlah Solusi. Itu hanya nafsu belaka yang menutupi jernihnya pikiran dan hati, untuk bisa memperbaiki diri.
"Jika manusia ditakdirkan hanya untuk mengurus dirinya sendiri, kenapa bisa disediakan alam semesta yang harus ada memberikan kebutuhan untuk dirinya?"
Satu nasihat yang bagi saya ini penting untuk direnungi, dicermati, dan dijalani.
"Jangan jadikan Nilai Tukar diri terlihat rendah di mata manusia, karena kita diciptakan untuk saling melengkapi. Namun jangan pula jadikan Nilai Tukar diri untuk sebuah eksistensi, karena sebuah kata Sombong pun tak layak untuk kita miliki. Kita terlalu penting untuk Melengkapi orang lain, tapi kita terlalu Lemah untuk bisa melebihi yang lain. Hanya Tanah yang diberikan Nyawa, apa yang mau Disombongkan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar